Selasa, 12 April 2016

MAKNA SURJAN DAN BESKAP BAGI ORANG JAWA



Surjan bagi  orang Jawa merupakan salah satu model pakaian adat yang penuh filosofis kehidupan.  Surjan merupakan bubusana adat Jawa atau orang bilang busana kejawen penuh dengan piwulang sinandhi, kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa (Kejawen).

Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang berkaitan dengan aktifitas sehari – hari, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, dengan diri sendiri, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta segala sesuatu dimuka bumi ini. Dan khusus untuk pakaian adat pria ini kurang lebih terdiri dari Blangkon, Surjan/beskap, Keris, Kain Jarik (Kain Samping), sabuk sindur dan canela/cemila/selop.
Penggunaan pakaian adat yang sekarang ini suah jarang dilakukan atau hanya sekedar dipakai pada saat ada hajatan saja, berakibat pengetahuan tentang tata cara pemakaian pakaian adat menjadi semakin minim. Terlebih lagi kebanyakan dari masyarakat sudah jarang yang memiliki sendiri seperangkat pakaian adat.
Surjan
Surjan/sur·jan/ Jw.  Adalah  baju laki-laki khas Jawa berkerah tegak; berlengan panjang, terbuat dari bahan lurik atau cita berkembang Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua kata atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja) yaitu dari kata suraksa-janma (menjadi manusia).  Surjan menurut salah satu makalah yang diterbitkan oleh Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang.  
Dikatakan (pakaian) surjan  berasal dari zaman Mataram Islam awal.  Pakaian adat pria ini merupakan pakaian adat model Yogyakarta walaupun konon katannya Surjan merupakan pakaian khas dari kerajaan Mataram sebelum terpecah menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta. Surjan awalnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu dan selanjutnya digunakan oleh Mataram. 
Pakaian surjan dapat disebut pakaian “takwa”, karena itu di dalam  baju surjan terkandung makna-makna filosofi, di antaranya: bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan rukun iman. Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada utusan Allah, iman kepada hari kiamat, iman kepada takdir.  Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi, Ashaduallaillahaillalah dan Waashaduanna Muhammada rasulullah. Disamping itu surjan memiliki tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu bahimah (hewani), nafsu lauwamah (nafsu makan dan minum), dan nafsu syaitoniah (nafsu setan). (K.R.T. Jatiningrat, 2008, Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.)
Jadi jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam.
Surjan sendiri terdapat dua jenis yaitu surjan lurik dan surjan Ontrokusuma, dikatakan Surjan lurik karena bermotif garis-garis, sedangkan Surjan Ontrokusuma karena bermotif bunga (kusuma). Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain polos ataupun kain lurik buatan dalam negeri saja, namun untuk surjan Ontrokusuma terbuat dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam bunga.
Surjan ontrokusuma hanya khusus sebagai pakaian para bangsawan Mataram, sedangkan pakaian seragam bagi aparat kerajaan hingga prajurit, surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam negeri, dengan motif lurik (garis-garis lurus). Untuk membedakan jenjang jabatan/kedudukan pemakainya, ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif lurik, warna dasar kain lurik dan warna-warni luriknya. Semakin besar luriknya berarti semakin tinggi jabatannya; atau semakin kecil luriknya berarti semakin rendah jabatannya. Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan menunjukkan pangkat (derajat/martabat) sesuai gelar kebangsawanannya.
Pemakaian Surjan ini dikombinasikan dengan tutup kepala atau Blangkon dengan “mondolan” di belakangnya. Dahulu pada jaman kerajaan mondolan ini difungsikan untuk menyimpan rambut pria yang panjang biar kelihatan rapi.


Beskap
Beskap merupakan pakaian adat gaya Surakarta, bentuknya seperti jas didesain sendiri oleh orang Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan. Warna yang lazim dari beskap biasanya hitam, walaupun warna lain seperti putih atau coklat juga tidak jarang digunakan. Selain beskap, ada lagi pakaian adat pria gaya Surakarta ini yaitu Atela. Perbedaan antara keduanya yang mudah dilihat dari pemasangan kancing baju. Pada beskap, kancing baju terpasang di kanan dan kiri, sementara pada atela, kancing baju terpasang di tengah dari kerah leher ke bawah.
Beskap adalah sejenis kemeja pria resmi dalam tradisi Jawa Mataraman untuk dikenakan pada acara-acara resmi atau penting. Busana atasan ini diperkenalkan pada akhir abad ke-18 oleh kalangan kerajaan-kerajaan di wilayah Vorstenlanden namun kemudian menyebar ke berbagai wilayah pengaruh budayanya.
Beskap berbentuk kemeja tebal, tidak berkerah lipat, biasanya berwarna gelap, namun hampir selalu polos. Bagian depan berbentuk tidak simetris, dengan pola kancing menyamping (tidak tegak lurus). Tergantung jenisnya, terdapat perbedaan potongan pada bagian belakang, untuk mengantisipasi keberadaan keris. Beskap selalu dikombinasi dengan jarik (kain panjang yang dibebatkan untuk menutup kaki.
Beskap memiliki beberapa variasi yang berbeda potongannya. Berikut adalah jenis-jenis beskap: beskap gaya Solo, beskap gaya Yogya, beskap landing dan beskap gaya kulon

Cara memakai Surjan atau Berkap
Seperti telah disampaikan di atas bahwa Surjan atau beskap merupakan salah satu busana pria adat Jawa yang bersumber dari keraton Mataram.  Cara memakainya harus dilakukan dengan tatacara  yang memiliki kaidah etika dan estitika tertentu. Susuhunan Pakubuwono IV, Raja Surakarta  telah mengingatkan kita dalam  berpakaian, yaitu: Nyandhang panganggo iku dadekna sarana hambangun manungso njobo njero, marmane pantesan panganggonira, trapna traping panganggon, cundhukana marang kahananing badanira, wujud lan wernane jumbuhna kalawan dedeg pidegso miwah pakulitaniro
(Berpakaian seharusnya dijadikan  sarana untuk  membangun  kepribadian manusia lahir dan bathin.  Maksudnya berpantaslah dalam berpakaian:   berpakaianlah sesuai tempat dan keadaan, cocokkan antara badan dengan pakaian yang dikenakan,   antara situasi,  warna dan model/corak pakaian, tinggi badan, berat bada dan warna kulit)
Perlengkapan busana  surjan atau beskap:
A.      Nyamping / sinjang
B.      Stagen
C.      Sabuk
D.      Epek lengkap timang dan lerep (anak timang)
E.       Keris / duwung
F.       Selop / canela
G.     Blangkon / udheng / mit


A.      Memakai Sinjang/Nyamping
Nyamping atau Sinjang sebelum dikenakan haruslah diwiru terlebih dahulu. Untuk nyamping busana pria, lebar wiru berukuran 3 jari tangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengenakan nyamping adalah motif batik pada kain nyamping tersebut. Jika nyamping memiliki motif gurda, posisi kepala burung haruslah berada di atas. Ada juga motif yang memakai simbol/bentuk seperti candi atau rumah, maka posisi atap haruslah berada di atas. Saat mengenakan nyamping, posisi wiru berada di tengah tubuh memanjang ke bawah. Tangan kanan memegang wiru dan tangan kiri memegang ujung kain satunya (biasa disebut pengasih). Pengasih ini dililitkan ke kanan hingga belakang paha kanan. Kemudian ujung wiru dililitkan ke arah kiri hingga pas di tengah tubuh. Usahakan bagian bawah tingginya sama dan cukup menutupi bagian kemiri kaki (bagian belang kaki yang menonjol). Setelah dirasa cukup sesuai maka nyamping harus diikat oleh stagen.

B.      Memakai Stagen
Stagen dililitkan dari arah kiri ke kanan mulai dari bawah melingkar ke arah atas. Jika stagen milik anda terlalu panjang, anda dapat meneruskan melilitkan  stagen kembali ke arah bawah. Jika sudah cukup, ujung stagen ditekuk dan diselipkan pada bagian bawah lilitan stagen untuk mengunci lilitan tersebut. Selanjutnya untuk menutupi stagen, kenakanlah sabuk.

C.      Memakai Sabuk
Cara memakai sabuk mirip dengan cara mengenakan stagen yaitu dililitkan berulang kali pada bagian bawah dada hingga ke pinggang. Hanya saja sabuk dililitkan dari arah kanan ke kiri mulai dari atas ke arah bawah. Yang perlu diperhatikan pada pemakain sabuk adalah jarak sap (garis atas yang satu dengan berikutnya kurang lebih 2 jari tangan. Ujung dari sabuk harus berakhir pada bagian kiri depan dan dapat dikunci dengan peniti.

D.      Memakai Epek
Bentuk epek mirip dengan ikat pinggang. Epek memiliki bagian pengunci yang disebut timang dan bagian lerep (anak timang). Cara mengenakan epek yaitu timang berada pada posisi tengah lurus dengan wiru nyamping. Sementara lerep pada posisi sebelah kiri. Jika memiliki epek yang panjang maka bagian ujung dapat dilipat dan dimasukkan ke bagian lerep. Epek harus terpasang pada lilitan sabuk bagian bawah, kira-kira 2 jari dari garis  bawah sabuk.
Warna sabuk dan epek ada beberapa macam sesuai dengan keperluan. Contohnya :
a.       Sabuk berwarna ungu dengan epek berwarna hijau artinya Wredha Ginugah yang dapat membangun suasana tenteram.
b.      Sabuk berwarna hijau atau biru dengan epek berwarna merah artinya Satriya Mangsah yang dapat membangun jiwa terampil dan berwibawa.
c.       Sabuk berwarna Sindur (merah bercampur putih) digunakan pada saat hajatan penganten. Warna ini dipakai bagi yang memiliki hajatan (hamengku damel). Sementara untuk besan tidak ada aturan yang pasti. Hanya saja pada saat jaman penjajahan Jepang, pernah ada paguyuban yang menentukan warna sabuk Pandhan Binethot (warna hijau dan kuning) bagi besan.


E.       Memakai Keris/Duwung
Keris atau duwung dikenakan pada bagian belakang busana. Keris diselipkan pada sabuk, tepatnya pada sap ke tiga dari bagian bawah sabuk. Posisi arah dan kemiringan seperti pada foto di sebelah ini.
Cara mengenakan keris/dhuwung ada beberapa macam sesuai dengan keperluannya:
a.       Ogleng : seperti pada gambar di samping digunakan pada saat biasa atau pahargyan (upacara adat) penganten.
b.      Dederan /andhoran : digunakan pada saat menghadap pimpinannya.
c.       Kewal : digunakan oleh prajurit saat situasi bersiaga.
d.      Sungkeman : digunakan saat menghantarkan jenazah.
e.      Angga : digunakan oleh pemimpin barisan
f.        Sikep
g.       Brongsong : keris dipegang dengan dibungkus sehingga tidak terlihat oleh orang lain.
Untuk jenis keris ada banyak sekali macamnya, hanya saja yang banyak dikenal oleh awam jenis Ladrang dan Gayaman. Dhuwung ladrang adalah keris resmi yang digunakan dalam upacara ataupun pahargyan (upacara penganten). Sementara jenis gayaman digunakan sehari-hari oleh prajurit keraton.

F.       Memakai Selop
Selop dikenakan sebagai alas kaki. Yang perlu diperhatikan pada pemakaian selop adalah ukuran dari selop itu. Jangan mengenakan selop yang lebih besar dari ukuran kaki tapi pilihlah selop yang lebih kecil. Ini bertujuan untuk menghindari agar langkah kita tidak terbelit pada kain nyamping.

G.     Memakai Blangkon/Udeng/Mid
Pada bagian depan blangkon terdapat segitiga. Ujung segitiga tersebut harus berada ditengah-tengah kening. Blangkon jangan dikenakan terlalu mendongak ataupun  menunduk.
Ada satu hal yang perlu diingat saat mengenakan busana adat, yaitu bahwa sepintas orang dapat mengenali kepribadian seseorang dari busananya baik warnanya maupun jenis busananya, cara memakainya dan bertingkah laku saat mengenakannya. 
Sumber:
1.       http://kbbi.web.id/surjan 
2.       http://www.kompasiana.com/elhasani_enha/surjan-dan-beskap_552af6e4f17e617a5ad623b7
3.       http://tembi.net/yogyakarta-yogyamu/makna-baju-surjan-dan-pranakan-1
4.       http://bungblangkon.blogspot.co.id/2010/11/memakai-beskap-atau-atela.html

Kamis, 07 April 2016

MAKNA FILOSOFI BANGUNAN MUSEUM & LOGO AJB BUMIPUTERA 1912



Bangunan utama Museum Bumiputera 1912 berupa bangunan  “pendopo”  beratap tajug.  Bangunan Museum Bumiputera 1912  merupakan bangunan baru dengan konstruksi beton cor  kerangka besi, dengan mengambil ide dan filosofi  tradisional jawa.
Pendopo merupakan bagian dari rumah tradisional Jawa Tengah yang sering disebut dengan rumah Joglo. Joglo adalah rumah adat masyarakat  Jawa. Bagian-bagian joglo yaitu : pendapa, pringgitan, dalem, sentong, dan gandok
Pendapa adalah bangunan bagian depan Joglo yang merupakan ruangan luas tanpa sekat, biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan untuk acara besar bagi penghuninya, seperti acara pagelaran wayang kulit, tari, gamelan dan yang lain.
Rumah Joglo dahulu pada umumnya terbuat dari kayu Jati (Tectona Grandis Sp.).  Disebut Joglo karena mengacu pada bentuk atapnya, mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada awalnya filosfis bentuk gunung tersebut diberi nama atap Tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap Joglo/Juglo (Tajug Loro = Dua Tajug ~ penggabungan dua Tajug). Dalam kehidupan manusia Jawa -gunung sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.
Konstruksi atap Joglo ditopang oleh Soko Guru (tiang utama) yang berjumlah 4 buah. Jumlah ini adalah merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut sebagai Pancer atau Manunggaling Keblat Papat.
Hal-hal tersebut di atas mencerminkan manusia Jawa yang dapat digolongkan sebagai golongan masyarakat yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya. Yang meyakini kehidupan ini dipengaruhi kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (Jagad Alit/Mikrokosmos) dan kekuatan yang muncul dari luar dirinya atau alam sekitarnya (Jagad Gede/Makrokosmos). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk rumah Joglo merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric , yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya.  
Tipe atap tajug khusus digunakan untuk masjid dan bangunan-bangunan suci lainnya. Orang biasa tidak diperkenankan membangun rumah dengan tipe ini karena rumah tajug termasuk yang disucikan. Ciri rumah tajug yaitu bentuk atapnya yang runcing, bentuknya seperti bujur sangkar (bukan persegi panjang).
Pendopo Museum Bumiputera 1912 mengusung tipe Tajug bertingkat  tiga ( tajug susun telu), atap seperti ini biasanya digunakan untuk bangunan Utama Masjid Jami atau Masjid Agung.  Pemilihan ide filosofi yang dihubungkan dengan  perwujudan gunung, filosofi mikrokosmos dan makrokosmos dan keterkaitan  antara bangunan museum, perusahaan AJB Bumiputera 1912, tergambar dalam perjalanan sejarah AJB Bumiputera 1912 sejak berdiri sampai  sekarang. 

Pemakaian dan Pembuatan Logo Bumiputera  sejak berdirinya hingga saat ini sangat jelas menggambarkan hal tersebut.


Selasa, 02 Februari 2016

SEKILAS TENTANG MUSEUM

Definisi museum menurut  ICOM ( International Council of Museums) adalah sebagai berikut:   “Museum adalah sebuah lembaga  yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat,  dan perkembangannya terbuka untuk  umum, yang memperoleh, merawat,  menghubungkan, dan memamerkan untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan, dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya. Pengertian museum menurut  ICOM tersebut mencakup lembaga-lembaga konservasi, ruang pamer, atau galeri yang secara tetap diadakan oleh perpustakaan dan pusat kearsipan. Selain itu suaka alam, cagar alam, situs arkeologi, situs etnografi, berikut peninggalan arkeologi atau peninggalan bersejarah (Susantio, 2012)

Kebun binatang atau taman  margasatwa juga dimasukkan ke dalam kategori museum. Bahkan  istilah museum melingkupi lembaga-lembaga yang memamerkan spesimen-spesimen hidup, seperti suaka margasatwa, kebun raya, taman anggrek, herbarium,  akuarium, dan oseanorium

Definsi museum yang terdapat dalam Pasal 1. (1). PP. No. 19 Tahun 1995 (Anonim, 1996-97:21). adalah sebuah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.

Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, museum merupakan lembaga yang bertugas mengadakan, melengkapi dan mengembangkan tersedianya obyek penelitian ilmiah bagi siapapun yang membutuhkan. Selain itu, museum bertugas menyediakan sarana untuk kegiatan penelitian bagi siapa pun, dan melaksanakan kegiatan penelitian serta  menyebarluaskan hasil penelitian tersebut untuk pengembangan ilmu pengetahuan umumnya.

Merujuk hasil konfesensi Umum ke 21 di Wina Austria pada tahun 2007 ICOM telah melengkapi  definisi museum dengan kata “the tangible and intangible heritage of humanity” sehingga definisi museum menjadi: Museum adalah sebuah lembaga tetap yang tidak mencari keuntungan dalam melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, melestarikan, menelii, mengkomunikasikan dan memamerkan warisan berwujud dan tidak berwujud dari manusia dan lingkungannya untuk tujuan pendidikan, studi dan kesenangan. 


Menurut jenis koleksinya  museum terbagi dua, yakni museum  umum dan museum khusus. Museum  umum adalah museum yang  koleksinya terdiri atas berbagai jenis  objek ilmu pengetahuan dan  kesenian. Contoh museum umum  adalah Museum Nasional yang koleksinya terdiri atas benda-benda prasejarah, arkeologi, relik sejarah, etnografi, geografi, seni rupa,  numismatik, heraldik, dan keramik. Museum khusus adalah  museum yang hanya menyajikan  koleksi berupa satu jenis objek ilmu  pengetahuan atau kesenian.  Contohnya Museum Wayang,  Museum Bahari, Museum Keramik,  dan Museum Seni Rupa, Museum perbankan, museum asuransi dan sebagainya.

Rabu, 20 Januari 2016

KODE ETIK PENYELENGGARA DAN PENGELOLA MUSEUM

KODE ETIK
PENYELENGGARA DAN PENGELOLA MUSEUM
ASOSIASI MUSEUM INDONESIA (AMI)

MUKADIMAH

Bahwa museum sebagai institusi publik bidang pendidikan, kebudayaan dan pariwisata perlu dikembangkan demi pelestarian warisan sejarah, alam dan budaya, maka penyelenggara dan pengelolanya harus memiliki perilaku etik yang tinggi.

Demi tegaknya harkat, martabat, integritas, kompetensi dan profesionalisme penyelenggara dan pengelola museum, maka Asosiasi Museum Indonesia (AMI) sebagai organisasi profesi di bidang permuseuman, maka ditetapkan Kode Etik Penyelenggara dan Pengelola Museum, yang harus dihormati dan ditaati oleh anggota-anggotanya.

BAB I
BATASAN PENGERTIAN

Pasal 1

1.      Museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda materil hasil karya manusia serta alam dan lingkungannya.
2.      Koleksi Museum adalah benda-benda materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya, yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata.
3.      Penyelenggara Museum adalah seseorang atau sekelompok orang, sebagai perorangan ataupun atas nama sebuah instansi atau lembaga, yang duduk dalam Dewan Pembina / Dewan Penyantun atau Dewan Pendiri dari sebuah museum.
4.      Pengelola Museum adalah seseorang yang bekerja di museum sebagai kepala, kurator, konservator, preparator, edukator dan registrar.

BAB II
KEWAJIBAN UMUM

Pasal 2

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib mengetahui, memahami dan mematuhi peraturan perundangan nasional, konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan permuseuman maupun aturan-aturan di museum tempat ia bekerja.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum dalam setiap kegiatannya selalu bersikap dan bertindak dengan menjaga integritas, bertanggungjawab dan terpercaya.
3.      Penyelenggara dan Pengelola Museum secara profesional memberi jaminan pelayanan pada publik, sesuai dengan tugas dan fungsi museum sebagai lembaga pengembangan kebudayaan, pendidikan dan pariwisata.
4.      Penyelenggara dan Pengelola Museum dilarang melakukan kegiatan yang berlawanan dengan hukum dan kegiatan yang tidak etis; dan menolak usaha yang dapat melanggar etika profesi.


Pasal 3

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum menolak usaha-usaha yang dapat menimbulkan dampak negatif pada museum tempat ia bekerja maupun pada museum-museum lain.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum menghindari benturan kepentingan antara dirinya pribadi dengan museum tempat ia bekerja atau dengan museum-museum lain.


Pasal 4

Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib menjaga informasi bersifat rahasia yang diperolehnya karena pekerjaannya di sebuah museum, seperti informasi tentang koleksi tertentu, pengamanan koleksi tertentu dan lain-lain
.


BAB III
TANGGUNGJAWAB ATAS KOLEKSI

Pasal 5
Pengadaan

Penyelenggara dan Pengelola Museum dalam melakukan pengadaan koleksi harus didasarkan pada penilaian atas otentisitas, mutu, dan lingkup visi misi museum.

Pasal 6
Perawatan

Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib melakukan perawatan koleksi dengan benar, untuk menjamin kelestariannya, termasuk dari akibat bencana alam atau bencana buatan.

Pasal 7
Pengamanan

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib memberi perhatian pada pengamanan dari kemungkinan terjadinya pencurian dan kerusakan koleksi.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib mengadakan perlindungan terhadap lingkungan koleksi dan spesimen yang disimpan atau dipamerkan ataupun yang dalam perjalanan, sebagai unsur mutlak dalam manajemen resiko dari museum.

Pasal 8
Pelestarian

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib melakukan pelestarian yang maksimal atas koleksi yang ada pada museum tempat ia bekerja.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib menghormati integritas kultural, fisik dan keaslian, dari setiap obyek dan koleksi.

Pasal 9
Keanekaragaman Hayati

1.      Apabila museum menggunakan keanekaragaman hayati sebagai koleksi untuk pameran atau riset, Penyelenggara dan Pengelola Museum harus memperhatikan kondisinya dengan menggunakan tenaga ahli.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum harus mengadakan sistem keamanan yang maksimal dan disetujui oleh tenaga ahli.

Pasal 10
Pencatatan dan Kerahasiaan

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum wajib melakukan pencatatan dan dokumentasi koleksi sesuai dengan kaidah permuseuman.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum tidak boleh menyampaikan informasi yang bersifat rahasia dan peka kepada pihak-pihak yang tidak berhak.

Pasal 11
Penelitian

Penyelenggara dan Pengelola Museum melaksanakan penelitian koleksi berdasarkan standar kaidah ilmiah yang terukur reliabilitas dan validitasnya, serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan norma ilmiah.

Pasal 12
Penyajian

Penyelenggara dan Pengelola Museum harus melakukan inovasi dalam penyajian koleksi berdasarkan kaidah permuseuman yang berorientasi publik.


BAB IV
TANGGUNGJAWAB PROFESIONAL

Pasal 13

Penyelenggara dan Pengelola Museum harus mentaati aturan, kebijakan dan prosedur di museum tempat ia bekerja.

Pasal 14

Penyelenggara dan Pengelola Museum harus menyebarluaskan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya kepada rekan-rekan seprofesi dan masyarakat.

Pasal 15

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum dilarang melibatkan diri dalam perdagangan benda-benda warisan alam atau budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum dilarang menerima hadiah atau pemberian dalam bentuk apapun dari pihak lain yang berkaitan dengan pengadaan koleksi.
3.      Penyelenggara dan Pengelola Museum dilarang mengidentifikasi dan/atau mengotentikasi benda-benda yang menurut pengetahuan dan pendapatnya, didapat, dialihkan secara ilegal atau melanggar hukum.

Pasal 16

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum hanya dengan izin dari lembaga tempat ia bekerja, bersedia berhubungan atas nama pribadi dengan pihak ketiga untuk memberi layanan bimbingan, penasehatan, konsultasi, pengajaran, penulisan dan penyebaran informasi.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum hanya dengan izin dari lembaga tempat ia bekerja, dapat memberi opini atas otentikasi dan penilaian sebuah benda.

BAB V
PENUTUP

Pasal 17

1.      Penyelenggara dan Pengelola Museum menyadari sepenuhnya bahwa ketaatan pada Kode Etik adalah bagian penting dari usaha untuk menegakkan dan menjaga harkat, martabat, integritas dan kehormatan sebagai Penyelenggara dan Pengelola Museum.
2.      Penyelenggara dan Pengelola Museum menyadari bahwa ketaatan pada Kode Etik adalah sebuah kebanggaan atas sebuah profesi yang bermartabat dan terhormat.
3.      Untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik ini dibentuk sebuah Majelis Kehormatan.
4.      Majelis Kehormatan atas nama Asosiasi Museum Indonesia (AMI) berhak memberi sanksi pada kasus-kasus pelanggaran Kode Etik yang dilakukan anggota, sesuai dengan bobot kesalahan/pelanggaran yang dilakukan.
5.      Kode Etik ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2005.



Dikutip dari: http://www.asosiasimuseumindonesia.org/organisasi/kode-etik.html