Selasa, 15 Desember 2015

R. Sastrowidjono & M. Ng. Dwidjosewojo (Ol. Mij. Boemi Poetera) Anggota Volksraad th 1918


Sejarah Terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.

Sekilas sejarah DPR-RI dapat dilihat dalam beberapa periode penting yaitu:

a. Volksraad (1918-1942)

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad.. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Tanggal 16 Desember 1916 diumumkan Volksraad  (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) berlaku pada tangal 1 Agustus 1917 memuat hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat). Pada tahun 1918 Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum atas nama pemerintah penjajah Belanda membentuk dan melantik Volksraad (Dewan Rakyat).
Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan. Pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat  tingkat dan berbelit, komposisi tidak begitu simpatik.
Pengisian Jabatan dan Komposisi
Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten.

Anggota Volksraad pada tahun 1918 : D. Birnie (ditunjuk), Kan Hok Hoei (ditunjuk), R. Sastro Widjono (dipilih) dan  Mas Ngabehi Dwidjo Sewojo (ditunjuk)

Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang termasuk ketua, dengan perimbangan:
  1. Jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
  2. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
  3. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.

Tugas Volksraad

Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.

Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.

Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli.

Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
  • 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
  • 5 orang mewakili P.P.B.B.
  •  4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
  • 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
  • 3 orang mewakili Parindra
  • 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)
  • 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
  • 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)
  • 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia
  • 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi    yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan    Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan    Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)

Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi “permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang”, atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.

Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan. Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen. (Ss/Pn)

b. Masa Perjuangan Kemerdekaan

Pada tahun 1935 kaum Nasionalis moderat antara lain Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan Parlemen. Usulan dari anggota seperti Sutardjo yang saat itu sebagai Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/pamongpraja Bumiputra (PPBB) mengusulkan permohonan agar diadakan musyawarah (konferensi) antara wakil-wakil Indonesia dan negara Belanda (Nederland) yang anggota-anggotanya mempunyai hak sama dan sederajat.

Pemerintah Belanda menolak usul berupa Petisi Sutardjo (1936), dan juga menolak uluran tangan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). GAPI yang didirikan pada tanggal 21 Mei 1939 oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syariffudin, dan AbikusnoTjokrosuyoso dengan slogan “Indonesia Berparlemen”(1939).

Pada tahun 1941 pada awal perang Dunia II Anggota-anggota Volksraad mengusulkan dibentuknya milisi pribumi untuk membantu Pemerintah menghadapi musuh dari luar, usul ini ditolak oleh kaum Nasionalis moderat.

Tentara Jepang di Indonesia

Tanggal 11 Januari 1942 Tentara Jepang pertama kali menginjak bumi Indonesia yaitu mendarat di Tarakan (kalimantanTimur). Hindia Belanda tidak mampu melawan dan menyerah kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, dan Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi.

Pada tahun 1943 dibentukTjuoSangi-in, sebuah badan perwakilan yang hanya bertugas menjawab pertanyaan Saiko Sikikan, penguasa militer tertinggi, mengenai hal-hal yang menyangkut usaha memenangkan perang Asia Timur Raya.

Salah Satu Gerakan Rakyat Bentukan Jepang

Rakyat Indonesia pada awalnya gembira menyambut tentara Dai Nippon (Jepang), yang dianggap sebagai saudara tua yang membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Namun pemerintah militer Jepang tidak berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda. Semua kegiatan politik dilarang. Pemimpin-pemimpin yang bersedia bekerjasama, berusaha menggunakan gerakan rakyat bentukan Jepang, seperti Tiga-A (Nippon cahaya Asia, Pelindung Asia, dan Pemimpin Asia) atau PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), untuk membangunkan rakyat dan menanamkan cita-cita kemerdekaan dibalik punggung pemerintah militer Jepang.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang dibom atom oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian Jepang akan kalah dalam waktu singkat, sehingga Proklamasi harus segera dilaksanakan.

Proklamasi an. Bangsa Indonesia

Pada tanggal 16 Agustus 1945 tokoh-tokoh pemuda bersepakat menjauhkan Sukarno-Hatta keluar kota (RengasdengklokKrawang) dengan tujuan menjauhkan dari pengaruh Jepang yang berkedok menjanjikan kemerdekaan, dan didesak Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah berunding selama satu malam di rumah Laksamana Maeda, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia membacakan Proklamasi Kemerdekaan di halaman rumahnya Pengangsaan Timur 56, Jakarta. (Ss/Pn) (Photo Istimewa).

c. Periode KNIP

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Peralihan, tanggal 29 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat atau (sering disingkat dengan KNIP) KNIP yang beranggotakan 137 orang dan di lantik di gedung kesenian Jakarta Pusat ini diakui sebagai cikal bakal badan Legislatif di Indonesia, dan tanggal pembentukan KNIP yaitu pada tanggal 29 Agustus 1945 diresmikan sebagai hari jadi DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kita kenal sebagai Undang-undang Dasar 1945. Maka mulai saat ini, penyelenggara negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut Undang-undang Dasar 1945.

Berhubung dengan keadaan dalam negeri yang genting, pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh satu Badan Pekerja, yang keanggotaannya dipilih dikalangan anggota, dan bertanggung jawab kepada KNIP. Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang diketuai oleh Sutan Sjahrir dan Sekretaris Soepeno dengan beranggotakan 28 orang Para anggota BP-KNIP tercatat antara lain: Sutan Syahrir, Mohamad Natsir, Soepeno, Mr. Assaat Datuk Mudo, dr. Abdul Halim, Tan Leng Djie, Soegondo Djojopoespito, Soebadio Sastrosatomo, Soesilowati, Rangkayo Rasuna Said, Adam Malik, Soekarni, Sarmidi Mangunsarkoro, Ir. Tandiono Manoe, Nyoto, Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo, Abdoel Moethalib Sangadji, Hoetomo Soepardan, Mr. A.M. Tamboenan, Mr. I Gusti Pudja, Mr. Lukman Hakim, Manai Sophiaan, Tadjudin Sutan Makmur, Mr. Mohamad Daljono, Sekarmadji Kartosoewirjo, Mr. Prawoto Mangkusasmito, Sahjar Tedjasoekmana, I.J. Kasimo, Mr. Kasman Singodimedjo, Maruto Nitimihardja, Mr. Abdoel Hakim, Hamdani, dll.

KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.

Pada tahun 1945 dalam Sidang KNIP yang pertama telah menyusun pimpinan sebagai berikut :
a.       Ketua KNIP, Mr. Kasman Singodimedjo
b.      Wakil Ketua KNIP, Mr. Sutardjo Kartohadikusumo
c.       Wakil Ketua II KNIP, Mr. J. Latuharhary
d.      Wakil Ketua III KNIP, Mr. Adam Malik

Pada tanggal 10 Nopember 1945 terjadi pertempuran di Surabaya yang menimbulkan banyak korban di pihak bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu KNIP dalam Sidang Pleno ke-3 tanggal 27 Nopember 1945 mengeluarkan resolusi yang menyatakan protes yang sekeras-kerasnya kepada Pucuk Pimpinan Tentara Inggris di Indonesia atas penyerangan Angkatan Laut, Darat dan Udara atas rakyat dan daerah-daerah di Indonesia. Dalam masa awal ini KNIP telah mengadakan sidang di Kota Solo pada tahun 1946, di Malang pada tahun 1947, dan Yogyakarta tahun 1949.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilaksanakan serentak di medan-perang dan di meja perundingan. Dinamika revolusi ini juga dicerminkan dalam sidang-sidang KNIP, antara pendukung pemerintah dan golongan keras yang menentang perundingan. Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda telah dua kali menandatangani perjanjian, yaitu Linggarjati dan Renville. Tetapi semua persetujuan itu dilanggar oleh Belanda, dengan melancarkan agresi militer ke daerah Republik.

Maklumat Wakil Presiden

Atas usulan KNIP, dalam sidangnya pada tanggal 16-17 Oktober 1945 di Balai Muslimin, Jakarta jalan Kramat Raya Jakarta, Sidang dipimpin Kasman Singodimedjo. Soekarno tidak hadir, tapi Hatta hadir. Demikian pula sebagaian besar menteri hadir. Sidang hari pertama ini sangat gaduh tidak menentu. Nampaknya para pemuda-mahasiswa yang sudah tidak puas pada golongan tua yang membuat gaduh. Meskipun demikian sidang bisa mengambil keputusan guna meminta hak legislatif kepada presiden sebelum MPR dan DPR terbentuk. Rapat berkali-kali ditunda guna merumuskan apa yang diinginkan para hadirin. Karena keadaan masih tetap kacau, Kasman yang tidak dapat menguasai keadaan menyerahkan pimpinan sidang kepada Adam Malik sebagai wakil ketua III.

Menanggapi semua kejadian diatas, akhirnya pada hari itu juga selaku pimpinan pemerintah, Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan maklumat no X Tanggal 16 Oktober 1945. Isinya antara lain, yang bertanggung jawab kepada KNIP, yang dalam diktumnya berbunyi :

“Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan Komine Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat”

Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden tersebut, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis –garis Besar Haluan Negara

Keesokannya, tanggal 17 Oktober 1945 sidang dilanjutkan, dipimpin Latuharhary. Acaranya, mendengarkan pidato Soekarni. Soekarni mengusulkan agar perjuangan RI menjadi lebih Revolusioner. Katanya: “KNIP harus mempunyai pimpinan yang yang bertanggung jawab dan birokrasi bertele-tele harus dihapuskan dari sistim kerja KNIP”. Sekalipun ada usaha dari Sartono dan Latuharhary untuk membela pimpinan KNIP lama (Kasman) dan membela pemerintah, namun sebagian besar anggota sidang setuju agar pimpinan KNIP lama mengundurkan diri dan diganti oleh orang baru.

Saat itulah nama Sjahrir dan Amir Sjarifudin disebut-sebut untuk menjadi pimpinan baru. Mereka dicari utusan KNIP dan diundang datang ke Balai Muslimin serta ditunjuk selaku formatur pada pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP. Itulah karir awal Sjahrir pasca Proklamasi dan merupakan pembuka jalan menuju kursi Perdana Menteri.

d. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)

Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sejarah KMB (Konferensi Meja Bundar) Konferensi Meja Bundar (KMB) dibuka secara resmi oleh PM. Belanda, W. Dress di Ridderzaal, Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus 1949. KMB adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus sd 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebelum konferensi ini, berlangsung ada tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Roven (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

Berikut ini adalah delegasi-delegasi yang menghadiri KMB:
a.       Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh.Hatta.
b.      Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II.
c.       Delegasi UNCI dihadiri oleh Chritchley, Merle Cochran, dan Heermans.
d.      Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. van Maarseveen.

Konferensi Meja Bundar
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia Internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan meliter Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik Indonesia. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.

Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan Federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus 1949, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

Berikut ini adalah hasil persetujuan yang telah dicapai dalam KMB:
  1. Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949
  2. Masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun sesudah pengakuan kedaulatan.
  3. Akan didirikan Uni Indonesia Belanda berdasarkan kerja sama.
  4. Pengembalian hak milik Belanda oleh RIS dari pemberian hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan
  5. RIS harus membayar segala utang Belanda yang diperbuatnya sejak tahun 1942


Perundingan Konferensi Meja Bundar menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya
  1. Piagam Kedaulatan
  2.  Statuta Persatuan,
  3.  Kesepakatan ekonomi
  4. Kesepakatan terkait urusan sosial dan militer
  5. Penarikan mundur tentara Belanda dalam waktu sesingkat-singkatnya,
  6. Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda.
  7. Tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda.
  8.  Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda

Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942.

Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia.Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.

Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu.Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya. Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.

Untuk menindaklanjuti hasil KMB maka tanggal 16 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik sebagai presiden RIS dan pada tanggal 17 Desember 1949 diambil sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949, Presiden Soekarno membentuk kabinet RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh.Hatta sebagai perdana menterinya.

PENGAKUAN KEDAULATAN

Sesuai hasil KMB, pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan upacara pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RIS.Upacara pengakuan kedaulatan dilakukan di dua tempat, Yaitu Den Haag dan Jogyakarta secara bersamaan, Dalam acara penandatanganan pengakuan kedaulatan di Den Haag, Ratu Yuliana bertindak sebagai wakil Negeri Belanda dan Drs.Moh. Hatta sebagai wakil Indonesia, Sedangkan dalam upacara pengakuan kedaulatan yang dilakukan di Yogyakarta, pihak Belanda diwakili oleh Mr Lovink ( Wakil tertinggi pemerintah Belanda) dan pihak Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan pengakuan kedaulatan itu berakhirlah kekuasaan Belanda atas Indonesia dan berdirilah Negara Indonesia Serikat.Sehari setelah pengakuan kedaulatan, Ibukota Negara pindah dari Yogyakarta ke Jakarta.Kemudian dilangsungkan upacara penurunan bendera Belanda dan dilanjutkan dengan pengibaran bendera Indonesia.(SS/PN) P Istimewa


Sumber:http://parlemennews.co.id/mozaik/

Kamis, 10 Desember 2015

R. SASTROWIDJONO Komisaris OL. Mij. Boemi Poetera Th 1915 sd 1924


R. Sastrowidjono adalah seorang Tokoh Nasional, ia berprofesi sebagai Jaksa di pengadilan Tinggi Sragen Jawa Tengah pada saatdipilih menjadi salah satu Komisaris Ol Mij Boemi Poetera pada Rapat Umum Anggota Pemegang Polis di Bandung tanggal 7 Agustus 1915.

R. Sastrowidjono bersama  M. Ng Dwidjosewoyo merupakan dua tokoh penting OL. Mij. Boemi Poetera. Bukan saja mereka merupakan tokoh nasional, tetapi karena perhatian mereka berdua kepada nasib Bangsa Indonesia yang sangat besar, yang dibuktikannya dengan berbagai usaha dan kegiatan melalui berbagai forum dan organisasi.


Disamping di Ol Mij. Boemi Poetera R. Sastrowidjono  aktif pula di  Boedi Oetama, bahkan ia ditunjuk menjadi anggota Dewan Rakyat (volksraad) mewakili  Boemi Poetera sekaligus Boedi Oetama.  Pada akhir tahun 1916, ia bersama 38 anggota Dewan Rakyat berangkat ke negeri Balanda sebagai delegasi Indie Weerbaar dslsm rangka memperjuangkan kesejahteraan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Jumat, 04 Desember 2015

Dr. Soetomo Penasehat Medis & Komisaris AJB Bumiputera 1912


Dr. Soetomo bernama asli Subroto, lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888, Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia.  Dr. Soetomo bersama rekan-rekannya, atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak) sebagai komisaris.

Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.

Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya. Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang ekonomi dan kewartawanan. Ia diberikan kepercayaan sebagai Komisaris OL Mij. Boemi Poetera mulai tahun 1925, dan sekaligus sebagai Penasehat Medis karena mulai tahun itu OL Mij Boemi Poetera menerima   polis polis dengan pemerikasaan dokter.   Dalam usia 50 tahun, ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

Sumber:  

1.       Buku Bumiputera 1912 Menyongsong Abad 21  AJB Bumiputera 1912, Jakarta, 1992


Rabu, 02 Desember 2015

Pendiri AJB Bumiputera 1912; Bpk. M. Adimidjojo


M. Adimidjojo dilahirkan di Cilacap, Jawa Tengah, pada tanggal 2 Februari 1879.  Oleh ayahnya, M. Kramawidjaja ia diberi nama kecil Mas Adi. Pendidikan terakir yang diselesaikannya adalah Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di Bandung sekitar tahun 1895 pada usia 16 tahun.

Dari dokumen-dokumen resmi yang dapat dihimpun, antara lain dari pihak keluarganya dan dari arsip nasional dapat diketahui bahwa M. Adimidjojo mengabdikan dirinya sebagai guru secara terus menerus dari tahun 1896 sampai pensiunnya pada tahun 1932, atau menjadi guru selama 36 tahun tanpa terputus.

Pada tanggal 15 Mei 1896, guru bantu SD Hindia Belanda di Kota Pasir Banyumas, Jawa Tengah.
Tahun 1898 dipindahkan ke Cilacap
Tahun 1901 dipindahkan ke Karanganyar Solo
Tahun 1901 dipindahkan lagi ke Majenang, Banyumas.
Tahun 1902 dipindahkan ke Grabag, Kedu
Tahun 1907 dipindahkan ke Magelang.
Tahun 1932 M. Adimidjojo dipensiunkan sebagai guru di kota Magelang

Dari ceritera yang diteruskan secara lesan oleh kalangan AJB Bumiputera 1912, terutama dari generasi Magelang disebutkan bahwa peranan M. Adimidjojo dalam persiapan pembentukan O.L. Mij. PGHB cukup besar. Antara lain dikisahkan bahwa pada tanggal 11 Februari 1912 sore hari dalam keadaan hujan diadakan pertemuan para tokoh terkemuka P.G.H.B. bertempat di rumah M. Adimidjojo yang dihadiri oleh:

1.      MKH Soebroto, Guru Bahasa Melayu, OSVIA, Magelang
2.      M. Ng. Dwidjosewojo, Guru Bahasa Jawa, Kweekschool, Yogyakarta
3.      R. Soepadmo, Mantri Guru, H.I.S. Purworedjo
4.      M. Darmodidjojo, Mantri Guru SD Dolopo, Magiun
5.      M. Adimidjojo, Mantri Guru H.I.S. Magelang.

Dalam konggres P.G.H.B. yang pertama di kota Magelang tanggal 12 Februari 1912 M. Adimidjojo terpilih menjadi Bendahara Pengurus Besar P.G.H.B.; dan hal ini berakibat langsung pada jabatannya sebagai bendahara O.L. Mij. PGHB yang dibentuk pada hari yang sama oleh konggres yang sama pula. Peristiwa ini mencerminkan sikap praktis konggres, yang juga menentukan kota Magelang sebegai kedudukan Kantor Pusat O.L. Mij. P.G.H.B. yang pada tahun 1915 berubah menjadi O.L. Mij. Boemi Poetera.

Jabatan Bendahara pada O.L. Mij. Boemi Poetera ini dipangkunya sampai dengan tahun 1918, pada saat itu terjadi perubahan susunan pengurus perusahaan, yang pada tahun itu kepengurusan O.L. Mij. Boemi Poetera diserahkan pada seorang tenaga professional yang bekerja penuh bagi perusahaan, yaitu R Roedjito sebagai Direktur.

Mulai tahun 1918 M. Adimidjojo diangkat menjadi salah seorang Komisaris O.L. Mij. Boemi Poetera yang dijabatnya sampai tahun 1924, dengan demikian ia telah mengabdi pada perusahaan selama 12 tahun tanpa terputus.

Aktifitas  M. Adimidjojo lainnya adalah menjadi anggota Budi Utomo, dan setelah menjalani masa pensiun, ia akhtif dalam Perkumpulan Persatuan Pensiun Guru hingga sampai wafatnya.


M. Adimidjojo adalah satu satunya pendiri AJB Bumiputrera 1912 yang mengalami Indonesia Merdeka, ia wafat pada tanggal 10 Desember 1956 pada usia 77 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Pakuncen Yogyakarta.

Pendiri AJB Bumiputera 1912; Bpk. MKH. Soebroto



Informasi tentang tempat dan tanggal kelahiran M.K.H. Soebroto belum dapat diketahui dengan pasti, tetapi memperhatikan dokumen lain yang memuat tentang ayahnya, M.  Kerto Soebroto, kemungkinan besar ia dilahirkan di kota Semarang, sekitar tahun 1860an. Melihat perjalanan hidup M.K.H. Soebroto serta karirnya sebagai guru, diyakini ia sebaya dengan M.Ng Dwidjosewojo, bahkan kemungkinan besar dia pernah menjadi teman satu kelas di Kweekschool magelang.

M.K.H. Soebroto mewarisi tradisi ayahnya yang juga seorang guru di kota semarang, yang dipensiunkan pada tahun 1986. Kapan M.K.H. Soebroto yang nama kecilnya Armidjan menamatkan pendidikannya tidak diperolih data yang pasti. Yang jelas pada saat diadakan konggres pertama P.G.H.B. di Magelang pada tanggal 12 Februari 1912, ia adalah guru bahasa melayu di OSVIA, sebuah sekolah yang mendidik calon calon pegawai di lingkungan Depertemen Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda, yang pada saat itu pula ia terpilih menjadi ketua pengurus besar PGHB, dengan M. Ng. Dwidjosewojo, guru bahasa jawa di Kweekschool Yogyakarta sebagai sekretaris dan M. Adimidjojo guru sekolah dasar di Magelang sebagai Bendahara. Ketiga orang pengurus PGHB tersebut juga terpilih menjadi pengurus OL Mij PGHB yang tiga tahun kemudian menjadi O.L. MIj. Boemi Poetera, yang kita kenal sekarang menjadi AJB Bumiputera 1912.

Pada tahun 1917, pada waktu pertumbuhan O.L. Mij. Boemi Poetera sudah mencapai titik yang mengharuskan adanya tenaga pimpinan tetap yang semata mata bekerja hanya untuk perusahaan, maka Rapat Anggota memutuskan untuk mengangkat seorang tenaga pimpinan “full timer” dan pilihan jatuh kepada M.K.H. Soebroto karena dinilai sangat berhasil memimpin O.L. Mij. Boemi Poetera, walaupun hanya sambilan, ternyata perusahaan dapat berkembang pesat. Tawaran menjadi pimpinan perusahaan yang “full timer” dengan jabatan Direktur ini ternyata ditolak oleh M.K.H. Soebroto, dengan alasan bahwa ia adalah seorang guru dan ingin meneruskan pengabdiannya di bidang pendidikan dan pengajaran sesuai dengan cita citanya.

Dengan diangkatnya R. Roedjito menjadi direktur O.L. Mij. Boemi Poetera pada bulan Februari tahun 1918 menggantikan M.K.H. Soebroto, berakhir pulalah jabatannya sebagai direktur pertama perusahaan yang dijabatnya sejak 12 Februari 2012, dan hubungan organisatoris lainnya dengan O.L. Mij. Boemi Poetera tidak pernah tercatat lagi dalam dokumen dokumen perusahaan. Sebagai bukti bahwa M.K.H. Soebroto adalah tokoh masyarakat yang berpengaruh, semasa ia menjadi warga kota Magelang, bersama sama R. Roedjito, ia pernah menjadi anggota Gemeenteraad ( Dewan Kotapraja), semacam Dewan Penasehat Walikota. Gemeenteraad ini hanya ada di kota-kota yang setatusnya Gemeente, yang dipimpin oleh Burgermeester (Wali kota) yang biasanya selalu dijabat oleh orang Belanda.


Dalam dokumen lain disebutkan bahwa pada tahun 1920-an M.K.H. Soebroto dimutasikan ke Normaalschool (Sekolah Pendidikan Guru untuk sekolah Bumiputera) dan mungkin sekali ia dipensiunkan dalam jabatan itu pada awal tahun 1930-an. Dokumen lain yang berhasil ditemukan, telah membuktikan bahwa M.K.H. Soebroto selama menjadi ketua pengurus besar P.G.H.B. selalu akhtif memperjuangkan nasib bangsanya, terutama kaum guru yang pada masa itu merupakan pegawai negeri yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah Hindia Belanda. Surat-surat usulan perbaikan nasib guru yang ditandatangani bersama sekretaris P.B. P.G.H.B.,  M. Ng. Dwidjosewojo telah membuktikan perjuanggannya yang gigih tersebut.  M.K.H. Soebroto wafat pata tanggal 14 September 1941 dan di makamkan di pemakaman Umum Pakuncen  Yogyakarta.

Pendiri AJB Bumiputera 1912 Bpk. M. Ng, Dwidjosewojo





M, Ng Dwidjosewojo dilahirkan pata tanggal 5 Juni 1867 di Gombong Jawa Tengah.  Oleh ayahnya Mas Kartodiwirjo, dia diberi nama Mas Achmad. Ayahnya adalah Mantri Teekenaar, dan menurut catatan terakhir bekerja di Ponorogo Jawa Timur.
Pendidikan tertinggi yang diselesaikan adalah Kweekschool (sekolah Pendidikan Guru), mula mula di magelang, karena sekolah ini ditutup, maka ia bersama kawan kawannya dipindahklan di Probolinggo Jawa Timur dan tamat pada ranggal  5 April 1886 pada usia 19 tahun. Pada tahun 1917, ia memperdalam pengetahuan bahasa belanda di bawah pimpinan seorang guru belanda bernama G.A.R van Maanen, dan dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi pada pelajaran “spraakkunst” (berbicara lisan). Waktu itu ia telah berusia 50 tahun.

Riwayat Pekerjaan sebagai guru.

Oktober 1886  : Diangkat menjadi guru bantu SD di Ngawi
Juni 1887         : Guru SD di Ponorogo
Maret 1891      : Guru bantu SD Sri Menganti di Yogyakarta
April 1894       : Menjadi Guru SD Sri Menganti Yogyakarta
Maret 1897      : Pindah guru SD di Purwokerto
Juni 1898         : Menjadi Guru Kepala pada SD kelas satu di Purwokerto (SD kelas satu diajarkan
  bahasa belanda)
Oktober 1904  : Diangkat menjadi guru bahasa Jawa pada Kweeekschool Yogyakarta
Januari 1919    : Dipensiunkan dari guru Bahasa Jawa pada Kweekschool Yogyakarta pada usia
  52 tahun, setelah dinas selama 33 tahun

Pada tahun 1911 ditugaskan oleh pemerintah untuk mengajar seorang bernama W. Bartley, pegawai Cadet Service dari Strait Setlements untuk pelajaran bahasa Jawa.

Pada akhir tahun 1911, Dwidjosewojo bersama sama tokoh-tokoh guru Bumiputera mendirikan Perserikatan Guru-guru Hindia Belanda (PGHB), diantaranya adalah: MKH Soebroto, M Adimidjojo, R Soepadmo dan M. Darmowidjojo.

Pada tahun 1918 ditugaskan untuk menjadi anggota Komisi Pengawas di Sekolah Teknik (Ambachschool) di Yogyakarta.


Aktivitas dalam Pergerakan Nasional

Dalam bulan Agustus 1908, bersama dengan M Djoko Saroso, mendirikan Budi Utomo cabang Yogyakarta II, kemungkinan dengan jabatan Sekretaris Pengurus Cabang. Pada Saat itu sudah berdiri Budi Utimo Cabang Yogyakarta I yang diketuai oleh Dr Wahidin Soedirohoesodo.
Menjelang Konggres I Budi Utomo, Dwidjosewojo duduk dalam Panitia Penyelenggara Konggres sebagai Sekretaris I Panitia yang diketuai oleh Dr Wahidin Soedirohoesodo. Susunan lengkap panitia tersebut adalah:

Ketua              : Dr. Wahidin Soedirohoesodo
Wakil               : R.M. Pandji Brotoatmodjo
Sekretaris I      : M.Ng Dwidjosewojo
Sekretaris  II   : R. Sosrosoegondo
Bendahara       : Pangeran Noto Dirodjo,

Dalam Konggres pertama Budi Utomo yang diselenggarakan pada tanggal 3 sd 5 Oktober 1908, Dwidjosewojo terpilih menjadi Sekretari I Pengurus Besar Budi Utomo yang susunan selengkapnya sebagai berikut:

Pengurus Besar Budi Utomo
Hasil Konggres I 3-5 Oktober 1908
Di Yogyakarta

Ketua              : Kg R.T. A Tirtokoesoemo
Wakil ketua     : Dr. Wahidin Soedirohoesodo
Sekretaris I      : M. Ng.  Dwidjosewojo
Sekretaris II    : R. Sosrosoegondo
Bendahara       : R.P.M. Gondoatmodjo
Komisaris        : 1. R.M.O. Gondosoemarjo
                          2. R. Djojosoebroto
                          3. Kg.R.T.T Koesoemo Oetojo
                          4. Kg.R.T. Danoesoegondo


Pada tahun 1915 Dwidjosewojo menghadiri ceramah Kapten Dinger (KNIL) tentang perlunya angkatan milisi bagi kaum Bumiputera. Caramah ini menarik perhatian Dwidjosewojo, dan kemudian menjadi sikap politik resmi Budi Utomo, sekalipun bertolak dari sudut pandangan pendidikan rakyat. Dari peristiwa ini ternyatalah bahwa pengaruh Dwidjosewojo di kalangan Budi Utomo cukup besar.

Untuk memberikan penerangan atas masalah milisi bagi kaum bumiputera tersebut, Budi Utomo mengutus Dwidjosewojo dan Sastrowidjono untuk berkeliling jawa guna menggalang dukungan dari daerah daerah. (perlu dicatat juga bahwa Sastrowidjono adalah salah seorang Komisaris Bumiputera 1912 dari tahun 1915 sampai tahun 1925)

Pada akhir tahun 1916, Dwidjosewojo melawat ke negeri Belanda sebagai anggota Delegasi pertahanan Hindia Belanda (Deputatie Indie Weebar), dalam kaitannya dengan usulan milisi bagi kaum bumiputera yang telah menjadi sikap politik resmi Budi Utomo.

Susunan lengkap delegasi tersebut adalah:
Kepala delegasi           : D Van Hinloopen Labberton, Direktur Himpunan Theosofi, Swasta.
Anggota Delegasi       : 1. Pangeran Ario Koesoemodiningrat, Mewakili Swapraja (Kerajaan)
      Yogyakarta
                                      2. RT. Danoesoegondo, mewakili Perhimpunan Bupati
                                      3. M. Ng Dwidjosewojo, Mewakili Budi Utomo
                                      4. Abdul Moeis, Mewakili Central Sarekat Islam
                                      5. Laoh
                                      6. Kapten Rhemrev

Dwidjosewojo yang berada di negeri Belanda selama enam bulan (januari – Juni 1917) dan melakukan berbagai kegiatan di samping sebagai anggota delegasi pertahanan Hindia Belanda. Di antara kegiatan kegiatan itu adalah menemui Menteri jajahan Hindia Belanda untuk membahas usulan:
-          Masalah milisi bagi kaum bumiputera
-          Perlunya segera diadakan Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen)
-          Peningkatan pendidikan bagi kaum Bumiputera

Dari tiga usulan itu, justru masalah Pembentukan Perwakilan Rakyat memperolih perhatian utama dari Menteri Jajahan Hindia Belanda. Usulan ini kemudian diwujudkan dengan pembetukan Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1918. Dengan terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1918 itu, Dwidjosewojo diangkat menjadi anggota yang ditunjuk (gedelegeerd lid) dan duduk dalam college van gedelegeerden, semacam komite tetap, yang secara terus menerus melakukan tugas sepanjang tahun, juga di luar masa persidangan. Ia menduduki keanggotaan Volksraad itu sampai dengan tahun 1931, pada saat itu ia mencapai usia 64 tahun.


Kegiatan di Bumiputera 1912

Pada tahun 1912, bersama sama pengurus PGHB mengambil inisiatif untuk mendirikan perusahaan asuransi jiwa bagi anggota anggota PGHB, yang disetujui secara aklamasi dalam konggres PGHB di Magelang  pada tanggal 12 Februari 1912.

Dalam konggres tersebut dibentuk pengurus O.L. Mij PGHB, dan dia terpilih menjadi Komisaris. Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1924. Dari tahun 1925 sampai tahun 1943 ia adalah Presiden Komisaris dan wafat dalam jabatan aktif pada usia 76 tahun di Yogyakarta.

Jabatan lain di lingkungan Bumiputera 1912 adalah Direktur PT Pertanian Bumiputera, sebuah anak perusahaan di bidang pertanian dan penggilingan padi di daerah Banyumas. Jabatan ini dipegang antara tahun 1938 sampai 1941.

Dwidjosewojo adalah satu satunya pendiri Bumiputera 1912 yang terus menerus aktif di perusahaan sampai wafatya. Ia dimakamkan di Gambiran  Yogyakarta.

Beberapa Aspek Sosial Dwidjosewojo

Dwidjosewojo yang diberi nama kecil Mas Achmad oleh orang tuanya pada saat mencapai usia dewasa dan mulai bekerja, sesuai adat kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat jawa, ia mengganti namanya menjadi Dwidjosewojo.

Dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 19 Juni 1895, pada usia 28 tahun, ia memperoleh gelar Mas Ngabehi ( M.Ng).  Gelar ini kemudian berubah menjadi Raden Wedono (R.W.) pada tahun 1919, setelah ia menjadi Sekretaris Kasultanan Yogyakarta atas titah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Hanom Hamengkubuwono No 14 tanggal 26 Juli 1919.

Sebagai  seorang tokoh pergerakan nasional dari Budi Utomo yang dikenal moderat itu, pergaulan Dwidjosewojo umumnya juga sangat dekat dengan tokoh tokoh Budi Utomo lainnya terutama Dr. Soetomo, R. Sastrowidjono yang juga anggota Volksraad mewakili Budi Utomo, R.M.A Soerjo Soeparto yang kemudian menjadi Mangkunegoro VII.

Ketokohannya yang menonjol di Budi Utomo dan didukung dengan kefasihannya berbicara bahasa Belanda (mungkin juga bahasa Inggris) ia tidak saja dikenal oleh kalangan elit yang luas pada jamannya, tetapi juga aktif sebagai tokoh masyarakat di berbagai kegiatan, terutama yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran kaum Bumiputera.