Kamis, 26 November 2015

Pahlawan dan Karyawan Teladan AJB Bumiputera 1912


Sri Sultan Hamengkubuwana IX

Sri Sultan Hamengkubuwana IX  

Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah Raja Jogjakarta yang selalu dekat dengan rakyatnya. Dia juga dekat dengan AJB Bumiputera 1912 sejak masa mudanya, beliau pada januari 1988 bersedia menjadi Pelindung AJB Bumiputera 1912  yang dijabatnya sampai wafat.

Sri Sultan Hamengkubuwana IX, lahir di Sompilan Ngasem, Yogyakarta, Indonesia, 12 April 1912, meninggal di Washington, DC, Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. 

Lahir di Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun pada 12 April 1912, Hamengkubuwana IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwana IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda (“Sultan Henkie”).

Hamengkubuwana IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga”. Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”.

Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adams mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I.

Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Pak Harto, beliau baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.

Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.

Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938 Minggu malam 2 Oktober 1988, ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Sultan Hamengku Buwana IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Sekitar akhir tahun 1930-an Sultan HB VIII memanggil anaknya Dorodjatun untuk pulang, mereka bertemu di Batavia tepatnya di Hotel Des Indes (Hotel ini kelak menjadi Pertokoan Duta Merlin). Di Hotel itulah Sultan menyerahkan tahtanya dan mangkat. Jadilah Dorodjatun menjadi Sultan HB IX. Tidak seperti Bangsawan-Bangsawan lain, Sultan HB IX dikenal sebagai seorang Sultan yang rendah hati, dia benar- benar bergabung dan membela rakyatnya ini menjadi cerita-cerita rakyat Yogya yang legendaris.

Sebelum dinobatkan menjadi Sultan sudah kebiasaan pemerintahan Hindia Belanda lewat Residennya selalu berunding dulu dengan calon Raja. Biasanya perundingan ini untuk menodong konsesi-konsesi politik pada calon Raja baru, sebagai wilayah yang merdeka kekuasaan Sultan Yogya sangat terbatas dan selalu diawasi oleh Residen. Biasanya pada Sultan- Sultan terdahulu, perundingan berlangsung singkat, karena pendahulu Dorodjatun biasanya tak mau ambil pusing, apalagi setelah insiden Ontowiryo yang berbuah perang Diponegoro. Namun Dorodjatun tidak mau mengalah pada perundingan ini. Tapi pada suatu malam Dorodjatun mendengar suara “Sudah kamu tanda tangani saja, sedikit lagi Belanda pergi dari sini” Dorodjatun yakin bahwa itu suara nenek moyangnya. Dan paginya dengan hati ringan ia menandatangani pengajuan konsesi, Toh Belanda sedikit lagi mau pergi. Hal itu membuat Residen Belanda tercengang karena tanpa angin tanpa hujan Sang Pangeran Mahkota mau menandatangani pengajuan konsesi setelah selama berbulan-bulan menolak habis-habisan pengajuan dari Belanda.

Lalu dinobatkanlah sang Sultan menjadi “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping Songo” , disaat penobatan itu pula-lah Sri Sultan HB IX mengucapkan kata terkenalnya : ” Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”

Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX mangkat (3 Oktober 1988), ratusan ribu rakyat membanjiri ke keraton. Seluruh Yogyakarta berkabung. Pemerintah RI menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Gejala-gejala spiritual pun terjadi. Saat itu, di langit muncul pelangi putih aneh yang dipercaya sebagai tanda kematian (teja bathang). Saat jenazah HB IX disemayamkan, hujan aneh turun di Yogyakarta. Hujan aneh juga tumben turun di Washington D.C. (Amerika Serikat) pada hari meninggalnya HB IX di rumah sakit yang ada di kota metropolitan itu. Dahulu, saat HB VIII wafat (22 Oktober 1939), mendadak petir (halilintar) meledak di langit Yogyakarta yang cerah. Menurut buku Babad Tanah Jawi, gunung-gunung meletus pada hari wafatnya Sultan Agung.

(Sumber:
1.       Buku Bumiputera 1912 Menyongsong Abad 21, AJB Bumiputera 1912, jakareta 1992.


KGPAA Mangkunagara VII


Mangkunegoro VII merupakan anak dari Mangkunegoro V. Ia merupakan anak yang ketujuh dan putera yang ketiga. Ia lahir pada tanggal 12 November 1885, yang menurut hitungan Jawa jatuh pada hari Kamis Wage, tanggal 3 Sapar tahun Dal 1815. Mangkunegoro VII memiliki nama kecil B.R.M. Soeparto. Sewaktu kecil Soeparto telah diangkat putera oleh pamannya, yakni R.M. Soenito. Ia sangat dimanja dan disayangi oleh pamannya yang belum memiliki keturunan. Soeparto hanya memiliki satu adik kandung yang bernama R.A. Soeparti. RM. Soeparto memutuskan akan meninggalkan Mangkunegaran dan mencari pengalaman di luar. RM. Soeparto magang pekerjaan di Kabupaten Demak, kemudian dalam waktu yang tidak lama beliau diangkat menjadi Mantri (1905). Sambil bekerja sebagai Mantri RM. Soeparto sempat memperdalam pengetahuan, menekuni belajar bahasa Belanda dan Sastra Jawa. Pada suatu ketika terjadi perselisihan paham dengan Bupati Demak maka RM. Soeparto mengundurkan diri dari perkerjaan Mantri.

RM. Soeparto merasakan penderitaan dan merasakan tekanan dalam hidupnya, oleh karena itu beliau menjelajahi Pulau  Jawa dengan berjalan kaki dan kadang-kadang naik kereta api. Dengan pengalaman dari perjalanan yang dilakukannya, mulai menimbulkan kepekaan terhadap lingkungan sosial yang akan mempengaruhi pandangannya dikemudian hari. Soeparto kemudian mendapatkan kesempatan untuk bersekolah lagi di Belanda dengan biaya sendiri dari hasil yang ditabungnya. Sesuai dengan cita-citanya, Suryo Suparto kemudian belajar sastra di Fakultas Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Tapi beliau gagal mendapatkan gelar sarjana, namunkini Suparto bertambah ilmunya, luas wawasannya, dan pengalamannya. Di Belanda RM. Soeparto berkesempatan untuk masuk dinas cadangan militer pada tahun 1915. keberhasilan Suparto pada bidang militer yangberhasil meraih pangkat Letnan Dua di Belanda. Program wajib militer kemudian dikembangkan agar diterima Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian sampai terbentuknya Parlemen.

RM. Soeparto juga ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ia bergabung dengan perkumpulan yang ingin memperjuangkan kemerdekaan melalui pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, yakni Budi Utomo. Pendapatnya dan pemikirannya untuk mendukung dan mempropagandakan Budi Utomo di Surakarta selalu dituangkan dalam tulisan pada surat kabar Dharmo Kondo, sehingga ia dikenal sebagai propagandis pergerakan bangsa yang patut dipuji. KGPAA. Mangkunegara VII mulai tahun 1923 sd 1945 menjadi Pelindung OL MIJ. Boemi Poetera, sebuah perusahaan asuransi milik rakyat Indonesia yang didirikan oleh para Guru tahun 1912 di Kota Magelang jawa tengah.

Pengangkatan KGPAA. Mangkunegara VII menjadi pelindung OL. MIj. Boemi Poetera membuktikan bahwa terdapat  hubungan yang sangat dekat antara beliau dengan AJB Bumiputera 1912. Hubungan tersebut terjadi karena keterikatannya dengan Pergerakan Nasional  Indonesia  serta perjalanan OL Mij. PGHB dan perjalanan perjuangan AJB Bumiputera 1912.  KGPAA. Mangkunegara VII  sebelum dinobatkan sebagai  Raja, pernah menjabat sebagai  Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo pada tahun 1915 – 1916 dengan Sekretari I  Pengurus Besar Boedi Oetomo masih dijabat oleh RW Dwijosewojo yang merupakan pendiri AJB Bumiputera 1912.

Ia mulai mempunyai cita-cita agar Praja Mangkunegaran, walaupun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, namun bisa memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat membawa nama baik Praja Mangkunegaran di seluruh daerah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Cita-cita ini kemudian diwujudkan oleh RM. Soeparto, setelah ia naik tahta menjadi Mangkunegoro VII.

Setelah beliau berusia 40 tahun RM. Soeparto menyandang gelar Mangkunegoro VII. Satu tahun setelah penobatan pada tanggal 21 Februari 1917 Mangkunegoro VII menyampaikan pidato yang tertuju kepada keluarga Mangkunegaran, para prajurit, nara Praja, dan orang-orang Belanda yang bertugas di Mangkunegaran. Bunyi pidato antara lain: “terlebih dahulu aku harus memikirkan kehidupan rakyat kecil yang sejak dahulu sampai sekarang membuat Mangkunegaran menjadi kaya dengan Perusahaan – Perusahaan yang sangat maju, padahal selama hidupnya selalu sengsara, hasil bumi sangat kurang karena kekurangan air. Penghidupan para buruh sangat menyedihkan, rumahnya sangat jelek dan sangat tidak pantas, mereka tidak mendapatkan pendidikan dan pelayanan yang baik, yang membina pun tidak ada. Oleh karena itu aku harus mengusahakan kesejahteraan rakyat kecil. Engkau semua harus gotong royong membantu dengan sungguh-sungguh memperbesar semangat agar Mangkunegaran bertambah sejahtera serta kehidupan rakyat kecil dapat enak dan tentaram hatinya, tidak harus lebih daripada itu. Engkau semua harus berusaha sampai titik darah penghabisan agar perasaanmu meningkat dapat mandiri, mempunyai inisiatif untuk kepentingan orang banyak dan tahu kewajiban serta berusaha meningkatkan keadilan serta ketentraman bagi rakyat kecil”. Contoh, pedagang oprokan atau barang bekas yang tidak mempunyai tempat, akhirnya dibuatkan Pasar Triwindu. Selanjutnya untuk kebutuhan rekreasi, masyarakat dimanja dengan Taman Balekambang, Taman Tirtonadi dan Minapadi yang sohor keindahannya itu.

Beliau tidak terlalu memegang teguh kebudayaan, sehingga penghalusan yang ditujunya bersifat feminin. Sebagai raja yang modern, dia berusaha keras menjunjung derajat bangsanya dan memajukan kebudayaan Jawa. Menjadi raja pelindung dan ahli dalam musik Jawa, olahragawan, raja yang memajukan drama dan arsitektur. Mangkunegara VII juga memperkenalkan mode pakaian jas paduan dari busana Jawa dan Eropa, hingga menjadi trend pakaian yang dipakai oleh para tokoh pergerakan saat melakukan pertemuan. Selain itu, Mangkunegara VII juga memprakarsai berdirinya Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1 April 1933 sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. SRV mempunyai peralatan yang canggih sehingga memiliki jangkauan luas hingga Belanda dan SRV akan menjadi bibit tumbuhnya Radio Republik Indonesia (RRI).

Referensi:
1.   Suwaji Bastomi (1996). Karya budaya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara I-VIII, IKIP Semarang Press.
2.       Buku Bumiputera 1912 menyongsong Abad 21, AJB Bumiputera 1912 jakarta, 1992