Sri Sultan Hamengkubuwana IX
Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah Raja Jogjakarta yang selalu dekat
dengan rakyatnya. Dia juga dekat dengan AJB Bumiputera 1912 sejak masa mudanya, beliau pada januari 1988
bersedia menjadi Pelindung AJB Bumiputera 1912
yang dijabatnya sampai wafat.
Sri
Sultan Hamengkubuwana IX, lahir di Sompilan Ngasem, Yogyakarta, Indonesia, 12
April 1912, meninggal di Washington, DC, Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada
umur 76 tahun. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di
Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang
pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil
Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai
Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional
Gerakan Pramuka.
Lahir
di Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun pada 12 April 1912,
Hamengkubuwana IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden
Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwana IX tinggal pisah dari
keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang,
dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Rijkuniversiteit
(sekarang Universiteit Leiden), Belanda (“Sultan Henkie”).
Hamengkubuwana
IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar
“Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Sanga”. Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda
dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar
pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”.
Sebelum
dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4
bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adams mengenai otonomi
Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan
mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku
Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia.
Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah
Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I.
Peranan
Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih tidak
singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah yang melihat semangat
juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Pak
Harto, beliau baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan
menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji
pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.
Sejak
1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin
Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama
di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada
akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali
sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang
mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai
Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada
KKN.
Beliau
ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam,
Belanda pada tahun 1938 Minggu malam 2 Oktober 1988, ia wafat di George
Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di
pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta,
Indonesia.
Sultan
Hamengku Buwana IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia
antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.
Sekitar akhir tahun 1930-an Sultan HB VIII memanggil anaknya Dorodjatun untuk
pulang, mereka bertemu di Batavia tepatnya di Hotel Des Indes (Hotel ini kelak
menjadi Pertokoan Duta Merlin). Di Hotel itulah Sultan menyerahkan tahtanya dan
mangkat. Jadilah Dorodjatun menjadi Sultan HB IX. Tidak seperti
Bangsawan-Bangsawan lain, Sultan HB IX dikenal sebagai seorang Sultan yang
rendah hati, dia benar- benar bergabung dan membela rakyatnya ini menjadi
cerita-cerita rakyat Yogya yang legendaris.
Sebelum
dinobatkan menjadi Sultan sudah kebiasaan pemerintahan Hindia Belanda lewat
Residennya selalu berunding dulu dengan calon Raja. Biasanya perundingan ini
untuk menodong konsesi-konsesi politik pada calon Raja baru, sebagai wilayah
yang merdeka kekuasaan Sultan Yogya sangat terbatas dan selalu diawasi oleh
Residen. Biasanya pada Sultan- Sultan terdahulu, perundingan berlangsung
singkat, karena pendahulu Dorodjatun biasanya tak mau ambil pusing, apalagi
setelah insiden Ontowiryo yang berbuah perang Diponegoro. Namun Dorodjatun
tidak mau mengalah pada perundingan ini. Tapi pada suatu malam Dorodjatun
mendengar suara “Sudah kamu tanda tangani saja, sedikit lagi Belanda pergi dari
sini” Dorodjatun yakin bahwa itu suara nenek moyangnya. Dan paginya dengan hati
ringan ia menandatangani pengajuan konsesi, Toh Belanda sedikit lagi mau pergi.
Hal itu membuat Residen Belanda tercengang karena tanpa angin tanpa hujan Sang
Pangeran Mahkota mau menandatangani pengajuan konsesi setelah selama
berbulan-bulan menolak habis-habisan pengajuan dari Belanda.
Lalu
dinobatkanlah sang Sultan menjadi “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng
Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo,
Kalifatullah Ingkang Kaping Songo” , disaat penobatan itu pula-lah Sri Sultan
HB IX mengucapkan kata terkenalnya : ” Saya memang berpendidikan barat tapi
pertama-tama saya tetap orang Jawa”
Ketika
Sri Sultan Hamengku Buwono IX mangkat (3 Oktober 1988), ratusan ribu rakyat
membanjiri ke keraton. Seluruh Yogyakarta berkabung. Pemerintah RI menetapkan
tujuh hari berkabung nasional. Gejala-gejala spiritual pun terjadi. Saat itu,
di langit muncul pelangi putih aneh yang dipercaya sebagai tanda kematian (teja
bathang). Saat jenazah HB IX disemayamkan, hujan aneh turun di Yogyakarta.
Hujan aneh juga tumben turun di Washington D.C. (Amerika Serikat) pada hari
meninggalnya HB IX di rumah sakit yang ada di kota metropolitan itu. Dahulu,
saat HB VIII wafat (22 Oktober 1939), mendadak petir (halilintar) meledak di
langit Yogyakarta yang cerah. Menurut buku Babad Tanah Jawi, gunung-gunung
meletus pada hari wafatnya Sultan Agung.
(Sumber:
1.
Buku Bumiputera 1912 Menyongsong Abad 21, AJB
Bumiputera 1912, jakareta 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar